Monday, January 25, 2010

Kisah Sukses : Jean-Dominique

The Bubble and the Butterfly, Kisah Pemimpin Redaksi ELLE

Rasanya kita semua tidak kenal dengan orang yang bernama Jean-Dominique Bauby, kecuali Anda perempuan dan berbahasa Perancis atau suka membaca majalah bernama Elle. Ia pemimpin redaksi Elle. Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang "ditulisnya" secara sangat istimewa dan diberinya judul Le Scaphandre et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).

Tahun 1995 ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut 'locked-in syndrome', kelumpuhan total yang disebutnya 'seperti pikiran di dalam botol'.
Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah caranya berkomunikasi dengan para perawatnya, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Mereka menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip bila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. "Bukan main", kata Anda. Ya,itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya.

Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh "menulis" dengan cara si Jean, barangkali kita harus menangis dulu berhari-hari.

Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal 3 hari setelah bukunya diterbitkan. Jadi, "Berapapun problem dan stress dan beban hidup kita semua, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!"

Apa yang a.l. ditulisnya di memoarnya itu?
"I would be the happiest man in the world if I could just properly swallow the saliva that permanently invades my mouth".

Bayangkan, menelan ludah pun ia tak mampu :-(. Jadi kita yang masih bisa makan bakmi, ngga usahlah Bakmi Gajah Mada, indomie yang Rp 3.500 saja, seharusnya sudah berbahagia 100 kali lipat dibanding si Jean. Kita bahkan senantiasa mengeluh, setiap hari, sepanjang tahun. We are the constant whiners.

Apa lagi yang dikerjakan Jean di dalam kelumpuhan totalnya selain menulis buku? Ia mendirikan suatu asosiasi penderita 'locked-in syndrome' untuk membantu keluarga penderita. Ia juga menjadi "bintang film" alias memegang peran di dalam suatu film yang dibuat TV Perancis yang menceritakan kisahnya. Ia merencanakan buku lainnya setelah ia selesai menulis yang pertama. Pokoknya ia hidup seperti yang dikehendaki to celebrate life', to do something good for others. (Untuk 'merayakan' kehidupan, untuk melakukan kebaikan bagi orang lain)

Jadi, betapapun kemelutnya keadaan kita saat ini, mereka yang sedang stress berat, mereka yang sedang berkelahi baik dengan diri sendiri maupun melawan orang lain atau anggota keluarga, mereka yang sedang tidak bahagia karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, mereka yang jalannya masih terpincang-pincang karena baru saja terinjak paku, mereka yang sedang di-PHK, Saya yakin kita masih bisa menelan ludah.

Semoga kita semua tidak terus menjadi whiner, pengeluh abadi, manusia yang sukar puas.

Kata orang bijak, "Think and Thank", berfikirlah dan kemudian bersyukurlah
Selanjutnya »»  

Sunday, January 24, 2010

Telur Paskah

Banyak sekolah minggu dan taman kanak-kanak serta sekolah dasar kristen merayakan Paskah dengan berlomba mencari telur. Telur ayam atau telur itik yang sudah direbus dan dihias dengan aneka warna disembunyikan di antara semak di taman. Lalu anak-anak berlomba mencarinya. Ada juga perlombaan menghias telur. Telur itu diberi topi atau jenggot dan digambar menjadi badut berhidung merah atau tukang sulap bertopi tinggi dan sebagainya.


Kemudian pernahkah Anda perhatikan bahwa dikartu ucapan selamat paskah, biasanya selain gambar bunga ada juga gambar kelinci? Nah, apa hubungan Paskah dengan telur dan kelinci? Hubungan secara langsung sebenarnya tidak ada. Inilah latar belakang lahirnya tradisi merayakan Paskah dengan telur dan kelinci.

Tradisi
Pada jaman abad-abad permulaan, di Inggris orang sudah mengenal Dewi Eostre (di Jerman: Dewi Austro) sebagai Dewi musim semi atau Dewi kesuburan dan perpanjangan hidup, yang kira-kira dapat dibandingkan dengan Dewi Sri di Indonesia.

Hari Paskah selalu jatuh di sekitar- hari-hari perayaan Dewi Eostre itu. Sebab itu lambat laun orang mengambil alih perayaan Dewi Oestre itu. Kata Inggris dan Jerman untuk Paskah yaitu Easter atau Ostern, diambil dari nama Dewi Eostre atau Austro itu. Juga kegiatan perayaan itu diambil alih dan diberi dengan isi yang baru.

Bagitulah telur yang semula adalah lambang cikal bakal kehidupan diambil alih menjadi lambang bangkitnya kehidupan. Kelinci yang semua adalah lambang kesuburan (karena dapat berkembang biak dengan cepat) diambil alih dan diberi arti paskah, yaitu lambang kehidupan yang berlimpah dalam kristus.

Bagi orang di belahan bumi utara. Paskah bertepatan dengnan musim semi. Musim semi adalah musim yang memperlihatkan munculnya kembali kehidupan. Pohon-pohon yang selama musim gugur dan musim dingin menjadi gundul, kini mulai bertunas. Bunga mulai bermekaran. Binatang-binatang mulai keluar dari perlindungannya. kehidupan dimulai lagi.

Demikianlah orang-orang kristen sejak jaman itu mengambil alih perayaan itu. Lambang telur dan kelinci pun diambil alih dan dijadikan lambang bahwa oleh kebangkitan kristus, hidup kita dimulai lagi secara baru untuk menjadi hidup yang bersemi dan berlimpah.

Buka esensi
Ingat, telur dan kelinci itu hanyalah aksesoris atau hiasan Paskah yang dipakai untuk membuat orang kristiani lebih mendalami arti paskah. Jangan sampai hal-hal yang aksesoris itu dikultuskan atau disembah, dan pengorbanan Kristus yang merupakan esensi Paskah justru dilupakan serta terlupakan.

Selama lebih dari 100 tahun, anak-anak datang ke halaman gedung putih pada hari senin setelah Paskah, untuk ikut berburu telur paskah. Dengan begitu banyaknya acara yang berlangsung, muncul komersialisasi. Dan ironisnya, buka Tuhan Yesus yang ditonjolkan, melainkan telur dan kelinci Paskah.

Hati-hati, kalau yang aksesoris itu pamornya melebihi yang esensi lebih baik ditinggalkan dan kembali fokus memberitakan esensi, yaitu Tuhan Yesus. Jangan sampai, ketika paskah tiba, kita menjadi sukacita, bukan karena memperingati kebangkitan yesus, melainkan menanti datangnya lomba mencari telur.

Lebih jauh, rentang waktu yang lama membuat orang banyak mulai lupa dan menganggap remeh pengorbanan Yesus di kayu salib, bahkan ada yang menyebut peristiwa itu sebagai dongeng atau cerita kuno yang sangat dramatis dan menguras air mata.

Tidak sedikit orang-orang Kristiani yang terharu dan menangis tersedu-sedu ketika melihat penayangan film penyaliban Kristus "Passion of the Christ", tetapi tidak memahami betapa Dia telah meniti jalan penderitaan untuk menebus dosa-dosa manusia, termasuk mereka yang menonton. "Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan DiriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Filipi 2:8)

Bagi banyak orang, paskah identik dengan telur yang akan dibagi-bagikan, tetapi sesungguhnya Paskah adalah kemenangan kristus, yang mengalahkan kuasa maut (kematian) melalui kebangkitanNya. Tanpa kebangkitanNya, iman Kristen menjadi sia-sia belaka. Tanpa kebangkitanNya maka kepercayaan kita kepadaNya tidak berarti apa-apa dan kita tetap akan mengalami kebinasaan karena dosa. Tetapi sebaliknya, karena kebangkitanNya kita sekarang memiliki pengharapan dan masa depan yang pasti
Selanjutnya »»  

The Passion of Jim Caviezel

JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL “ THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.

Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.

“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.

Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.

Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.

Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.

Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.

Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!

Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.

Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.

Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.

Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.

Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.

Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.

Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.

Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.

Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.

Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.

Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.

Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.

Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.

Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).

“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.

Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.

Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.

Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.

Saya harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.

Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.

“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”
Selanjutnya »»  

Tuesday, January 19, 2010

Kisah Sukses : Derreck Kayongo Menolong Uganda lewat sabun bekas

Kisah penuh inspirasi mengenai anak muda dari Uganda yang telah membantu perekonomian negaranya.

Derreck Kayongo menampung sabun bekas pakai dari hotel-hotel di Atlanta, mendaur ulang, menjadikannya baru, lantas mengirimkannya ke kamp-kamp pengungsian di negri asalnya Uganda.

Proyek mulia itu bermula sekitar tahun 1994 lalu. Tepatnya, saat Derreck Kayongo kali pertama tiba di Amerika Serikat (AS) setelah meninggalkan Uganda yang kondisinya semrawut. Kala itu dia menginap di sebuah hotel di Philadelphia.

Awalnya, tidak ada yang aneh sampai dia pergi ke kamar mandi di esok paginya. Dia menjumpai, sabun yang baru digunakan untuk mandi satu kali sudah diganti dengan yang baru. Demikian juga lusa dan hari-hari berikutnya. Dia selalu mendapatkan sabun baru tiap pagi.

Mendapati rutinitas yang tidak pernah dijumpainya di Afrika itu, Kayongo tersentak. Dia lantas menelepon sang ayah yang merupakan pengusaha sabun sebelum diktator Idi Amin berkuasa.

"Ayah tidak akan percaya dengan yang terjadi disini. Mereka membuang sabun bekas meskipun baru digunakan satu kali," serunya kepada sang ayah di Uganda seperti dilansir situs berita bisnis Global Atlanta.

Beberapa tahun kemudian tepatnya april 2009, dia mengundang manager sejumlah hotel di Atlanta. Dalam kesempatan itu, dia memberanikan diri meminta sabun2 bekas tersebut.

Dia terkejut betapa positifnya respons para petinggi hotel-hotel itu. "Ada sekitar 40 hotel di Atlanta yang bersedia memberikan sabun bekas pakai mereka dengan cuma-cuma." Papar Kayongo.

Dalam hitungan bulan, aktivitas anti kemiskinan tersebut berhasil mengumpulkan sedikitnya 4 ton sabun bekas pakai. Sebanyak 2 Ton dia tampung di sebuah gudang dari Alpharetta dan 2 ton lainnya di lantai dasar rumah seorang teman.

Kayongo yang dibantu istrinya, sarah, dalam proyek pengumpulan sabun bekas tersebut berharap bisa mngirimkan kargo pertamanya ke uganda oktober 2009. Rencananya sabun itu dikirimkan lewat kapal Kenya, diteruskan ke Uganda lewat jalan darat. Di Uganda, sabun-sabun bekas pakai itu bakal di sterilkan, lantas diperbarukan.

"Proses daur ulang dan pembentukan sabun itu akan menjadi lahan pekerjaan baru bagi warga setempat," tegas dia.

Belakangan, proyek Kayongo itu tidak hanya didukung hotel-hotel di Atlanta. Sedikitnya, ada 20 hotel lain dari Georgia, Florida, dan Tennese yang menjadi donatur sabun bagi Global Soap Project. Sementara itu, jasa pengiriman sabun bekas pakai tersebut didukung penuh oleh Relief Cargo yang bermarkas di Green Bay, Wisconsin. Perusahaan jasa pengiriman yang menjadi langganan organisasi kemanusiaan tersebut bersedia memberikan harga khusus untuk sekitar 5 ton sabun pertama yang segera dikirimkan ke Afrika itu.

"Jika pengiriman perdana itu berhasil, prospek membuka jasa pengiriman di negara-negara Afrika terbuka lebar," ujar presiden Relief Cargo Andrew Drescher. Biasanya, lanjut dia, kargo-kargo nya mengirim selimut atau alat-alat sekolah ke Afrika. Di Uganda dan negara miskin Afrika lainnya, sabun menjadi kebutuhan yang sangat penting.

"Banyak faktor selain kemiskinan yang membuat masyarakat di sini yang tidak mengenal sabun," papar Emmanuel d'Harcourt, dokter sekaligus direktur senior kesehatan pada International Rescue Committe
Selanjutnya »»  

Wednesday, January 6, 2010

Kisah Menarik Di Malam Natal

Lukas 2:14 - "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."
Efesus 2:17-18 - Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.

Pada tahun 1914 ada sebuah kisah menarik yang terjadi di malam Natal. Saat itu terjadi peperangan antara Inggris, Jerman dan Perancis. Di malam Natal seperti itu, pastilah para prajurit ingin berada di rumah, berkumpul dengan keluarga, menyiapkan kado-kado, bernyanyi dan menikmati sukacita serta hidangan yang enak. Tapi kali ini mereka berada jauh dari rumah, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Salju yang turun menambah dinginnya udara malam dan dinginnya hati mereka. Perut lapar, pakaian yang basah, dinginnya udara dan tempat tinggal yang becek serta ketidaknyamanan suasana perang merupakan satu harmoni yang semakin menghilangkan semangat untuk mengangkat senjata. Ada satu kerinduan untuk duduk bersama keluarga didepan perapian sambil mengunyah kue-kue yang lezat.

Seorang prajurit yang tertembak merintih menahan sakit, sementara yang lain menggigil kedinginan. Pimpinan mereka pun malam itu tidak seperti biasanya. Ia kelihatan sangat bersedih, menangis teringat akan anak dan isterinya. Entah kapan mereka akan pulang dan berada ditengah orang-orang yang mereka kasihi. Mereka semua diam membisu selama beberapa jam, tetapi tiba-tiba nampak cahaya kecil yang bergerak-gerak dari arah pasukan Jerman. Ternyata ada prajurit Jerman yang membuat pohon Natal kecil dan mengangkatnya keatas agar kelihatan. Ia melakukan itu sambil mengalunkan lagu "Stille Nacht, Heilige Nacht" atau lagu "Malam Kudus". Alunan lembut lagu itu membuat hati para prajurit pilu karena mereka teringat suasana Natal ditengah-tengah keluarga. Prajurit Jerman yang menyanyikan lagu itu ternyata adalah seorang penyanyi tenor opera terkenal sebelum dikirim ke medan perang. Sambil menyanyi, prajurit itu berdiri dari tempat persembunyiannnya sehingga musuh dapat melihatnya. Ia ingin menyampaikan makna Natal yang sesungguhnya, yaitu berbagi kasih dan damai. Prajurit tersebut bersedia mengorbankan nyawanya, ia bersedia ditembak oleh musuh karena mereka pasti bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi, apakah yang terjadi?

Satu per satu dari masing-masing pasukan keluar dari persembunyian dan ikut menyanyi. Mereka berkumpul bersama dan air mata tidak tertahankan. Seorang prajurit Inggris musuh bebuyutan Jerman malah mengiringi nyanyian tersebut dengan sebuah alat musik tiup yang dibawanya. Tidak ada lagi lawan, tidak ada peperangan, tidak ada benci, yang ada hanya kedamaian didalam kebersamaan. Mereka semua bersama-sama menyanyi dalam bahasa mereka masing-masing, dilanjutkan lagi dengan lagu "Hai Mari Berhimpun". Mereka yang tadinya adalah musuh yang berusaha saling membunuh, kini merasakan aliran damai Natal. Mereka bersama-sama menyembah dan bersyukur atas kelahiran Juruselamat.

Saat ini, jika masih ada luka, kekecewaan, dan kebencian terhadap seseorang, biarkan kuasa Yesus Sang Juruselamat menyembuhkan serta menggantinya dengan damaiNya!

DOA: Ya Tuhan Yesus, pulihkanlah hatiku dari segala luka, kekecewaan dan kebencian. Penuhilah hatiku dengan damaiMu dan jadikan aku baru. Dalam Nama Tuhan Yesus aku berdoa. Amin.
Kata-kata bijak: Kelahiran Yesus mengubah kebencian menjadi kasih!
Selanjutnya »»